Senin, 25 November 2013

TAK PERLU TAKUT DALAM KEBAIKAN

Tersebutlah sebuah karakter bernama Hati kecil dan Hati besar, dua hati ini bercokol dalam sebuah lubuk dalam tubuh manusia. Saya beberapa hari ini mendengar pergulatan kata dan diskusi serius diantara mereka, saya nguping dan lekat-lekat menyimak apa yang mereka bicarakan. Ternyata yang menjadi bahan adu argumen diantara mereka tentang Menyampaikan Kebaikan Yang Tepat hmmm….sangat menarik, perlu saya simak lebih lanjut.
“Cil, memangnya kalau berbuat baik itu bebas ya? Bisa dilakukan di mana atau kapan pun? Atau harus lihat-lihat dulu?” Tanya si hati besar dengan penasaran.
Hati kecil dengan bijak menyambut pertanyaan hati besar “Kamu kenapa Sar, tiba-tiba menanyakan pertanyaan yang sebenarnya bisa dijawab sendiri? Ayo tenangkan dulu dan ceritakan duduk permasalahannya. Ada apa?” Tambahnya.
“Begini, aku tadinya berpikir bahwa segala kebaikan itu bebas-bebas saja, mau dilakukan dimana atau kapan pun, tetapi saat aku sudah melakukan hal itu, ada orang lain yang merasa keberadaannya terusik. Orang tersebut tidak mengungkapkan rasa tidak nyamannya secara langsung, tapi melalui tindakan yang kurasa adalah sebagai sindiran terhadapku.” Ujar hati besar dengan menunduk dalam-dalam. Sedih.
“Sar, kamu tak perlu merasa bersalah begitu, masa kebaikan harus disesali? Ayo ah senyum, menyampaikan suatu kebaikan itu memang sepatutnya tak perlu dibatasi, dihalangi atau dijegal. Kebaikan itu akan bermuara kepada banyaknya manfaat bagi semua pihak. Namanya kebaikan tentu saja akan menghasilkan sesuatu yang banyak diharapkan orang lain.” Hati kecil memberi penjelasan dan menghela napas sesaat.
Hati kecil melanjutkan, “Tak semua kebaikan yang kita lakukan bisa diterima semua pihak. Karena masing-masing punya idealsme, keinginan, kekuasaan, ambisi, eksistensi dan pengakuan yang besar dari pihak lainnya. Sehingga dapat membutakan apa yang ada disekitarnya, yang ada dibenaknya hanyalah “Ego” dan tak peduli dengan kebaikan yang bisa menjadi sumbangan energi positif bagi sekitarnya. Bahkan ketika kamu bermaksud berbuat baik, dianggapnya sebagai ancaman dari luar yang akan mengotori idealismenya itu. Jadi, sudah jelas melakukan kebaikan pun harus hati-hati dan jangan sampai malah melukai hati orang lain.” Kata hati kecil menjelaskan panjang lebar.
Hati besar terperangah, “Kok begitu, Cil ? Kalau begitu harus pilih-pilih dong?”
Segera dijawab hati kecil “Bukan demikian Sar, menyampaikan suatu perbuatan baik untuk orang lain tak perlu pilih-pilih, bisa kepada siapa saja. Tetapi, harus punya empathy dan membaca situasi. Jangan sampai apa yang disampaikan sia-sia. Artinya, kita harus jeli, jangan sampai orang yang punya prinsip ‘merasa sudah serba sempurna’ tak terusik oleh kita. Atau seperti peribahasa “Membuang garam ke laut” Kita harus bisa menjaga sikap dan santun dalam menyampaikan kebaikan itu.” Hati kecil memberikan penjelasan dengan seksama.
“Aku sekarang mengerti Cil, berarti harus ada sebuah kebaikan yang tak perlu disampaikan karena takut melukai orang lain, begitu kah Cil?” Tanya hati besar masih penasaran.
“Pandangan itu sama sekali tidak benar Sar, jangan sampai kita menunda-nunda atau mengurungkan perbuatan baik dalam bentuk apapun. Walau kita harus hati-hati karena jangan sampai ada pihak yang merasa terusik, bukan berarti kita tak patut menyampaikan semua kebaikan itu Sar. Artinya, kita tetap sampaikan kebaikan itu dengan cara yang tepat. Tidak menjadi pahlawan yang tidak diharapkan juga tidak memaksakan kehendak. Jika memang tidak diperkenankan, cari saja tempat lain atau berikan saja kebaikan itu kepada yang benar-benar memerlukannya. Kepada orang yang welcome dan punya kerendahan hatinya untuk menerima sudut pandang lain untuk saling melengkapi. Pokoknya kamu harus tetap semangat Sar!” Kata hati kecil berapi-api.
Hati besar mulai mengerti. “Aku sekarang benar-benar paham Cil, jadi sejatinya memang kebaikan itu tanpa batas dan tak patut dijegal, tujuan berhati-hati itu artinya jangan sampai kebaikan yang kita lakukan malah menjadi kemudharatan, betul kan Cil? Makasih ya Cil.” Kata hati besar puas dan tersenyum.
Hasil nguping perbincangan hati kecil dan hati besar, saya merasa terinspirasi. Apalagi paparan si hati kecil yang mendalam dan netral. Menyampaikan kebaikan ternyata tak serta-merta disampaikan, dengan dalih sudah yakin benar. Harus menimbang dan melihat kondisi, jangan sampai kebaikan yang kita sampaikan malah menjadi sesuatu yang kurang berkenan. Menyampaikan kebaikan memang kewajiban kita dan harus sebanyak-banyaknya dilakukan. Tetapi jangan sampai menjadi mubazir dan sia-sia.
Berbuat baik harus ditularkan dan tetap semangat walau ada hambatan atau olok-olok lebih baik abaikan dan anggap saja sebagai pemacu agar ada evaluasi serta bisa dijadikan pembelajaran mental.
Sesuatu yang kita anggap baik belum tentu dapat keterima dengan baik dan berkenan dihati orang lain. Maka berbuat baik selain keikhlasan juga perlu teknik, empathy dan sikap membawa diri yang tepat. Mudah-mudahan saya selalu diberikan petunjuk yang memudahkan jalan untuk berbuat baik yang tepat, amin.

Kamis, 21 November 2013

"PATUNG POLISI,POLISI TIDUR, HOEGENG"






Mantan Presiden Gus Dur punya anekdot, hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia. Ketiganya adalah patung polisi, polisi tidur, dan   Hoegeng Iman Santosa. Ini semacam sindiran bahwa sulit mencari polisi jujur di negeri ini. Kalaupun ada, langka dicari.

Polisi Hoegeng adalah satu teladan polisi jujur yang kisah dan kiprah selalu layak diceritakan turun-temurun. 14 Oktober 1921, tepat 91 tahun lalu, Hoegeng lahir di Pekalongan. Inilah beberapa cerita dan kiprah polisi Hoegeng sejak merintis karir sebagai polisi, sebagai dirjen imigrasi hingga berpuncak pada karir sebagai Kapolri.
Kisah-kisah yang menyentuh dan menggetarkan hati ini beberapa dikutip dari memoar Hoegeng, Polisi antara Idaman dan Kenyataan, karangan Ramadhan KH

1. Larang istri buka toko bunga
Sebagai perwira, Hoegeng hidup pas-pasan. Untuk itulah istri Hoegeng, Merry Roeslani membuka toko bunga. Toko bunga itu cukup laris dan terus berkembang.
Tapi sehari sebelum Hoegeng akan dilantik menjadi Kepala Jawatan Imigrasi (kini jabatan ini disebut dirjen imigrasi) tahun 1960, Hoegeng meminta Merry menutup toko bunga tersebut. Tentu saja hal ini menjadi pertanyaan istrinya. Apa hubungannya dilantik menjadi kepala jawatan imigrasi dengan menutup toko bunga.
“Nanti semua orang yang berurusan dengan imigrasi akan memesan kembang pada toko kembang ibu, dan ini tidak adil untuk toko-toko kembang lainnya,” jelas Hoegeng.
Istri Hoegeng yang selalu mendukung suaminya untuk hidup jujur dan bersih memahami maksud permintaan Hoegeng. Dia rela menutup toko bunga yang sudah maju dan besar itu.
“Bapak tak ingin orang-orang beli bunga di toko itu karena jabatan bapak,” kata Merry.

2. Tolak rayuan pengusaha cantik
Kapolri Hoegeng Imam Santosa pun pernah merasakan godaan suap. Dia pernah dirayu seorang pengusaha cantik keturunan Makassar-Tionghoa yang terlibat kasus penyelundupan. Wanita itu meminta Hoegeng agar kasus yang dihadapinya tak dilanjutkan ke pengadilan.
Seperti diketahui, Hoegeng sangat gencar memerangi penyelundupan. Dia tidak peduli siapa beking penyelundup tersebut, semua pasti disikatnya.
Wanita ini pun berusaha mengajak damai Hoegeng. Berbagai hadiah mewah dikirim ke alamat Hoegeng. Tentu saja Hoegeng menolak mentah-mentah. Hadiah ini langsung dikembalikan oleh Hoegeng. Tapi si wanita tak putus asa. Dia terus mendekati Hoegeng.
Yang membuat Hoegeng heran, malah koleganya di kepolisian dan kejaksaan yang memintanya untuk melepaskan wanita itu. Hoegeng menjadi heran, kenapa begitu banyak pejabat yang mau menolong pengusaha wanita tersebut. Belakangan Hoegeng mendapat kabar, wanita itu tidak segan-segan tidur dengan pejabat demi memuluskan aksi penyelundupannya.
Hoegeng pun hanya bisa mengelus dada prihatin menyaksikan tingkah polah koleganya yang terbuai uang dan rayuan wanita.

3. Mengatur lalu lintas di perempatan
Teladan Jenderal Hoegeng bukan hanya soal kejujuran dan antikorupsi. Hoegeng juga sangat peduli pada masyarakat dan anak buahnya. Saat sudah menjadi Kapolri dengan pangkat jenderal berbintang empat, Hoegeng masih turun tangan mengatur lalu lintas di perempatan.
Hoegeng berpendapat seorang polisi adalah pelayan masyarakat. Dari mulai pangkat terendah sampai tertinggi, tugasnya adalah mengayomi masyarakat. Dalam posisi sosial demikian, maka seorang agen polisi sama saja dengan seorang jenderal.
“Karena prinsip itulah, Hoegeng tidak pernah merasa malu, turun tangan sendiri mengambil alih tugas teknis seorang anggota polisi yang kebetulan sedang tidak ada atau tidak di tempat.
Jika terjadi kemacetan di sebuah perempatan yang sibuk, dengan baju dinas Kapolri, Hoegeng akan menjalankan tugas seorang polantas di jalan raya. Itu dilakukan Hoegeng dengan ikhlas seraya memberi contoh kepada anggota polisi yang lain tentang motivasi dan kecintaan pada profesi.”
Demikian ditulis dalam buku Hoegeng-Oase menyejukkan di tengah perilaku koruptif para pemimpin bangsa- terbitan Bentang.
Hoegeng selalu tiba di Mabes Polri sebelum pukul 07.00 WIB. Sebelum sampai di kantor, dia memilih rute yang berbeda dan berputar dahulu dari rumahnya di Menteng, Jakarta Pusat. Maksudnya untuk memantau situasi lalu lintas dan kesiapsiagaan aparat kepolisian di jalan.
Saat suasana ramai, seperti malam tahun baru, Natal atau Lebaran, Hoegeng juga selalu terjun langsung mengecek kesiapan aparat di lapangan. Dia memastikan kehadiran para petugas polisi adalah untuk memberi rasa aman, bukan menimbulkan rasa takut. Polisi jangan sampai jadi momok untuk masyarakat.

4. Berantas semua beking kejahatan
Banyak aparat hukum malah menjadi beking tempat maksiat, perjudian hingga menjadi bodyguard. Hanya sedikit yang berani mengobrak-abrik praktik beking ini. Polisi super Hoegeng Imam Santosa mungkin yang paling berani.
Ceritanya tahun 1955, Kompol Hoegeng mendapat perintah pindah ke Medan. Tugas berat sudah menantinya. Penyelundupan dan perjudian sudah merajalela di kota itu.
Para bandar judi telah menyuap para polisi, tentara dan jaksa di Medan. Mereka yang sebenarnya menguasai hukum. Aparat tidak bisa berbuat apa-apa disogok uang, mobil, perabot mewah dan wanita. Mereka tak ubahnya kacung-kacung para bandar judi.
Bukan tanpa alasan kepolisian mengutus Hoegeng ke Medan. Sejak muda dia dikenal jujur, berani dan antikorupsi. Hoegeng juga haram menerima suap maupun pemberian apapun.
Maka tahun 1956, Hoegeng diangkat menjadi Kepala Direktorat Reskrim Kantor Polisi Sumut. Hoegeng pun pindah dari Surabaya ke Medan. Belum ada rumah dinas untuk Hoegeng dan keluarganya karena rumah dinas di Medan masih ditempati pejabat lama.
Cerita soal keuletan para pengusaha judi benar-benar terbukti. Baru saja Hoegeng mendarat di Pelabuhan Belawan, utusan seorang bandar judi sudah mendekatinya. Utusan itu menyampaikan selamat datang untuk Hoegeng. Tak lupa, dia juga mengatakan sudah ada mobil dan rumah untuk Hoegeng hadiah dari para pengusaha.
Hoegeng menolak dengan halus. Dia memilih tinggal di Hotel De Boer menunggu sampai rumah dinasnya tersedia.
Kira-kira dua bulan kemudian, saat rumah dinas di Jl Rivai siap ditinggali, bukan main terkejutnya Hoegeng. Rumah dinasnya sudah penuh barang-barang mewah. Mulai dari kulkas, piano, tape hingga sofa mahal. Hal yang sangat luar biasa. Tahun 1956, kulkas dan piano belum tentu ada di rumah pejabat sekelas menteri sekalipun.
Ternyata barang itu lagi-lagi hadiah dari para bandar judi. Utusan yang menemui Hoegeng di Pelabuhan Belawan datang lagi. Tapi Hoegeng malah meminta agar barang-barang mewah itu dikeluarkan dari rumahnya. Hingga waktu yang ditentukan, utusan itu juga tidak memindahkan barang-barang mewah tersebut.
Apa tindakan Hoegeng?
Dia memerintahkan polisi pembantunya dan para kuli angkut mengeluarkan barang-barang itu dari rumahnya. Diletakkan begitu saja di depan rumah. Bagi Hoegeng itu lebih baik daripada melanggar sumpah jabatan dan sumpah sebagai polisi Republik Indonesia.
Hoegeng geram mendapati para polisi, jaksa dan tentara disuap dan hanya menjadi kacung para bandar judi. “Sebuah kenyataan yang amat memalukan,” ujarnya geram.

5. Hoegeng dan pemerkosaan Sum Kuning
Sumarijem adalah seorang wanita penjual telur ayam berusia 18 tahun. Tanggal 21 September 1970, Sumarijem yang sedang menunggu bus di pinggir jalan, tiba-tiba diseret masuk ke dalam mobil oleh beberapa orang pria. Di dalam mobil, Sum diberi eter hingga tak sadarkan diri. Dia dibawa ke sebuah rumah di Klaten dan diperkosa bergiliran oleh para penculiknya.
Setelah puas menjalankan aksi biadab mereka, Sum ditinggal begitu saja di pinggir jalan. Gadis malang ini pun melapor ke polisi. Bukannya dibantu, Sum malah dijadikan tersangka dengan tuduhan membuat laporan palsu.
Dalam pengakuannya kepada wartawan, Sum mengaku disuruh mengakui cerita yang berbeda dari versi sebelumnya. Dia diancam akan disetrum jika tidak mau menurut. Sum pun disuruh membuka pakaiannya, dengan alasan polisi mencari tanda palu arit di tubuh wanita malang itu.
Karena melibatkan anak-anak pejabat yang berpengaruh, Sum malah dituding anggota Gerwani. Saat itu memang masa-masanya pemerintah Soeharto gencar menangkapi anggota PKI dan underbouw-nya, termasuk Gerwani.
Kasus Sum disidangkan di Pengadilan Negeri Yogyakarta. Sidang perdana yang ganjil ini tertutup untuk wartawan. Belakangan polisi menghadirkan penjual bakso bernama Trimo. Trimo disebut sebagai pemerkosa Sum. Dalam persidangan Trimo menolak mentah-mentah.
Jaksa menuntut Sum penjara tiga bulan dan satu tahun percobaan. Tapi majelis hakim menolak tuntutan itu. Dalam putusan, Hakim Ketua Lamijah Moeljarto menyatakan Sum tak terbukti memberikan keterangan palsu. Karena itu Sum harus dibebaskan.
Dalam putusan hakim dibeberkan pula nestapa Sum selama ditahan polisi. Dianiaya, tak diberi obat saat sakit dan dipaksa mengakui berhubungan badan dengan Trimo, sang penjual bakso. Hakim juga membeberkan Trimo dianiaya saat diperiksa polisi.
Hoegeng terus memantau perkembangan kasus ini. Sehari setelah vonis bebas Sum, Hoegeng memanggil Komandan Polisi Yogyakarta AKBP Indrajoto dan Kapolda Jawa Tengah Kombes Suswono. Hoegeng lalu memerintahkan Komandan Jenderal Komando Reserse Katik Suroso mencari siapa saja yang memiliki fakta soal pemerkosaan Sum Kuning.
“Perlu diketahui bahwa kita tidak gentar menghadapi orang-orang gede siapa pun. Kita hanya takut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jadi kalau salah tetap kita tindak,” tegas Hoegeng.
Hoegeng membentuk tim khusus untuk menangani kasus ini. Namanya Tim Pemeriksa Sum Kuning, dibentuk Januari 1971. Kasus Sum Kuning terus membesar seperti bola salju. Sejumlah pejabat polisi dan Yogyakarta yang anaknya disebut terlibat, membantah lewat media massa.
Belakangan Presiden Soeharto sampai turun tangan menghentikan kasus Sum Kuning. Dalam pertemuan di istana, Soeharto memerintahkan kasus ini ditangani oleh Team pemeriksa Pusat Kopkamtib. Hal ini dinilai luar biasa. Kopkamtib adalah lembaga negara yang menangani masalah politik luar biasa. Masalah keamanan yang dianggap membahayakan negara. Kenapa kasus perkosaan ini sampai ditangani Kopkamtib?
Dalam kasus persidangan perkosaan Sum, polisi kemudian mengumumkan pemerkosa Sum berjumlah 10 orang. Semuanya anak orang biasa, bukan anak penggede alias pejabat negara. Para terdakwa pemerkosa Sum membantah keras melakukan pemerkosaan ini. Mereka bersumpah rela mati jika benar memerkosa.
Kapolri Hoegeng sadar. Ada kekuatan besar untuk membuat kasus ini menjadi bias.
Tanggal 2 Oktober 1971, Hoegeng dipensiunkan sebagai Kapolri. Beberapa pihak menilai Hoegeng sengaja dipensiunkan untuk menutup kasus ini.

6. Selalu berpesan polisi jangan sampai dibeli
Mantan Kapolri Jenderal Polisi Widodo Budidarmo punya kenangan soal Hoegeng. Widodo ingat betul pesan Hoegeng padanya.
“Mas Widodo jangan sampai kendor memberantas perjudian dan penyelundupan karena mereka ini orang-orang yang berbahaya. Suka menyuap. Jangan sampai polisi bisa dibeli,” tutur Widodo menirukan pesan Hoegeng semasa itu.
Widodo tahu Hoegeng tidak asal memberikan perintah. Hoegeng telah membuktikan dirinya memang tidak bisa dibeli. Sejak menjadi perwira polisi di Medan, Hoegeng terkenal karena keberanian dan kejujurannya. Dia tak sudi menerima suap sepeser pun. Barang-barang hadiah pemberian penjudi dilemparkannya keluar rumah.
“Kata-kata mutiara yang masih saya ingat dari Pak Hoegeng adalah baik menjadi orang penting, tapi lebih penting menjadi orang baik,” kenang Widodo.
Widodo bahkan menyamakan mantan atasannya dengan Elliot Ness, penegak hukum legendaris yang memerangi gembong mafia Al Capone di Chicago, Amerika Serikat. Saat itu, mafia menyuap hampir seluruh polisi, jaksa dan hakim di Chicago. Karena itu mereka bebas menjalankan aksi-aksi kriminal.
Tapi saat itu Elliot Ness dan kelompoknya yang dikenal sebagai The Untouchables atau mereka yang tak tersentuh suap, berhasil mengobrak-abrik kelompok gengster itu.
“Pak Hoegeng itu tak kenal kompromi dan selalu bekerja keras memberantas kejahatan,” jelas Widodo.

Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci.

Rabu, 20 November 2013

Jakarta – Kapolri, Jenderal Polisi Sutarman, mengaku terinspirasi buku Hoegeng, Polisi dan Menteri Teladan yang diluncurkan hari ini di Pondok Indah Mall, Jakarta Selatan.
“Ke depan harus ada figur-figur seperti Pak Hoegeng. Sampai saat saya membaca buku ini, saya meneteskan air mata,” ujar Sutarman dalam sambutannya, Minggu (17/11/2013).
Sebab itu, Sutarman mengaku akan menyalurkan hikmah yang ada, terkait kejujuran seorang polisi, pada 400 ribu anak buahnya.
Hoegeng, lanjutnya, merupakan polisi yang konsisten. “Sehingga sekali lagi dengan terbit buku ini jadi inspirasi dan wajib membaca buku ini,” ujarnya.

Senin, 18 November 2013

Bantaeng 19 Nopember 2013, POLDA SULSELBAR melakukan Supervisi dan Penyuluhan Hukum di Polres  Bantaeng yang dihadiri oleh Polres Bantaeng, Polres Bulukumba, Polres Selayar, Polres Sinjai, Polres Jeneponto, yang dipimpin Oleh Kompol Tahir di BIDKUM POLDA SULSELBAR.