POLRES BANTAENG
Sukses Melalui Kebersamaan dan Kerja Keras, Smoga Slalu Dalam Lindungan Tuhan.
Rabu, 26 November 2014
Rabu, 27 November 2013
Selasa, 26 November 2013
Senin, 25 November 2013
TAK PERLU TAKUT DALAM KEBAIKAN
Tersebutlah sebuah karakter bernama Hati kecil dan Hati besar, dua hati ini bercokol dalam sebuah lubuk dalam tubuh manusia. Saya beberapa hari ini mendengar pergulatan kata dan diskusi serius diantara mereka, saya nguping dan lekat-lekat menyimak apa yang mereka bicarakan. Ternyata yang menjadi bahan adu argumen diantara mereka tentang Menyampaikan Kebaikan Yang Tepat hmmm….sangat menarik, perlu saya simak lebih lanjut.
“Cil, memangnya kalau berbuat baik itu bebas ya? Bisa dilakukan di mana atau kapan pun? Atau harus lihat-lihat dulu?” Tanya si hati besar dengan penasaran.
Hati kecil dengan bijak menyambut pertanyaan hati besar “Kamu kenapa Sar, tiba-tiba menanyakan pertanyaan yang sebenarnya bisa dijawab sendiri? Ayo tenangkan dulu dan ceritakan duduk permasalahannya. Ada apa?” Tambahnya.
“Begini, aku tadinya berpikir bahwa segala kebaikan itu bebas-bebas saja, mau dilakukan dimana atau kapan pun, tetapi saat aku sudah melakukan hal itu, ada orang lain yang merasa keberadaannya terusik. Orang tersebut tidak mengungkapkan rasa tidak nyamannya secara langsung, tapi melalui tindakan yang kurasa adalah sebagai sindiran terhadapku.” Ujar hati besar dengan menunduk dalam-dalam. Sedih.
“Sar, kamu tak perlu merasa bersalah begitu, masa kebaikan harus disesali? Ayo ah senyum, menyampaikan suatu kebaikan itu memang sepatutnya tak perlu dibatasi, dihalangi atau dijegal. Kebaikan itu akan bermuara kepada banyaknya manfaat bagi semua pihak. Namanya kebaikan tentu saja akan menghasilkan sesuatu yang banyak diharapkan orang lain.” Hati kecil memberi penjelasan dan menghela napas sesaat.
Hati kecil melanjutkan, “Tak semua kebaikan yang kita lakukan bisa diterima semua pihak. Karena masing-masing punya idealsme, keinginan, kekuasaan, ambisi, eksistensi dan pengakuan yang besar dari pihak lainnya. Sehingga dapat membutakan apa yang ada disekitarnya, yang ada dibenaknya hanyalah “Ego” dan tak peduli dengan kebaikan yang bisa menjadi sumbangan energi positif bagi sekitarnya. Bahkan ketika kamu bermaksud berbuat baik, dianggapnya sebagai ancaman dari luar yang akan mengotori idealismenya itu. Jadi, sudah jelas melakukan kebaikan pun harus hati-hati dan jangan sampai malah melukai hati orang lain.” Kata hati kecil menjelaskan panjang lebar.
Hati besar terperangah, “Kok begitu, Cil ? Kalau begitu harus pilih-pilih dong?”
Segera dijawab hati kecil “Bukan demikian Sar, menyampaikan suatu perbuatan baik untuk orang lain tak perlu pilih-pilih, bisa kepada siapa saja. Tetapi, harus punya empathy dan membaca situasi. Jangan sampai apa yang disampaikan sia-sia. Artinya, kita harus jeli, jangan sampai orang yang punya prinsip ‘merasa sudah serba sempurna’ tak terusik oleh kita. Atau seperti peribahasa “Membuang garam ke laut” Kita harus bisa menjaga sikap dan santun dalam menyampaikan kebaikan itu.” Hati kecil memberikan penjelasan dengan seksama.
“Aku sekarang mengerti Cil, berarti harus ada sebuah kebaikan yang tak perlu disampaikan karena takut melukai orang lain, begitu kah Cil?” Tanya hati besar masih penasaran.
“Pandangan itu sama sekali tidak benar Sar, jangan sampai kita menunda-nunda atau mengurungkan perbuatan baik dalam bentuk apapun. Walau kita harus hati-hati karena jangan sampai ada pihak yang merasa terusik, bukan berarti kita tak patut menyampaikan semua kebaikan itu Sar. Artinya, kita tetap sampaikan kebaikan itu dengan cara yang tepat. Tidak menjadi pahlawan yang tidak diharapkan juga tidak memaksakan kehendak. Jika memang tidak diperkenankan, cari saja tempat lain atau berikan saja kebaikan itu kepada yang benar-benar memerlukannya. Kepada orang yang welcome dan punya kerendahan hatinya untuk menerima sudut pandang lain untuk saling melengkapi. Pokoknya kamu harus tetap semangat Sar!” Kata hati kecil berapi-api.
Hati besar mulai mengerti. “Aku sekarang benar-benar paham Cil, jadi sejatinya memang kebaikan itu tanpa batas dan tak patut dijegal, tujuan berhati-hati itu artinya jangan sampai kebaikan yang kita lakukan malah menjadi kemudharatan, betul kan Cil? Makasih ya Cil.” Kata hati besar puas dan tersenyum.
Hasil nguping perbincangan hati kecil dan hati besar, saya merasa terinspirasi. Apalagi paparan si hati kecil yang mendalam dan netral. Menyampaikan kebaikan ternyata tak serta-merta disampaikan, dengan dalih sudah yakin benar. Harus menimbang dan melihat kondisi, jangan sampai kebaikan yang kita sampaikan malah menjadi sesuatu yang kurang berkenan. Menyampaikan kebaikan memang kewajiban kita dan harus sebanyak-banyaknya dilakukan. Tetapi jangan sampai menjadi mubazir dan sia-sia.
Berbuat baik harus ditularkan dan tetap semangat walau ada hambatan atau olok-olok lebih baik abaikan dan anggap saja sebagai pemacu agar ada evaluasi serta bisa dijadikan pembelajaran mental.
Sesuatu yang kita anggap baik belum tentu dapat keterima dengan baik dan berkenan dihati orang lain. Maka berbuat baik selain keikhlasan juga perlu teknik, empathy dan sikap membawa diri yang tepat. Mudah-mudahan saya selalu diberikan petunjuk yang memudahkan jalan untuk berbuat baik yang tepat, amin.
Kamis, 21 November 2013
"PATUNG POLISI,POLISI TIDUR, HOEGENG"
Mantan Presiden Gus Dur punya
anekdot, hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia. Ketiganya adalah patung
polisi, polisi tidur, dan Hoegeng Iman Santosa. Ini semacam sindiran
bahwa sulit mencari polisi jujur di negeri ini. Kalaupun ada, langka dicari.
Polisi
Hoegeng adalah satu teladan polisi jujur yang kisah dan kiprah selalu layak
diceritakan turun-temurun. 14 Oktober 1921, tepat 91 tahun lalu, Hoegeng lahir
di Pekalongan. Inilah beberapa cerita dan kiprah polisi Hoegeng sejak merintis
karir sebagai polisi, sebagai dirjen imigrasi hingga berpuncak pada karir
sebagai Kapolri.
Kisah-kisah
yang menyentuh dan menggetarkan hati ini beberapa dikutip dari memoar Hoegeng,
Polisi antara Idaman dan Kenyataan, karangan Ramadhan KH
1. Larang istri buka toko bunga
Sebagai perwira, Hoegeng hidup pas-pasan. Untuk itulah istri
Hoegeng, Merry Roeslani membuka toko bunga. Toko bunga itu cukup laris dan
terus berkembang.
Tapi sehari sebelum Hoegeng akan dilantik menjadi Kepala Jawatan
Imigrasi (kini jabatan ini disebut dirjen imigrasi) tahun 1960, Hoegeng meminta
Merry menutup toko bunga tersebut. Tentu saja hal ini menjadi pertanyaan
istrinya. Apa hubungannya dilantik menjadi kepala jawatan imigrasi dengan
menutup toko bunga.
“Nanti semua orang yang berurusan dengan imigrasi akan memesan
kembang pada toko kembang ibu, dan ini tidak adil untuk toko-toko kembang
lainnya,” jelas Hoegeng.
Istri Hoegeng yang selalu mendukung suaminya untuk hidup jujur dan
bersih memahami maksud permintaan Hoegeng. Dia rela menutup toko bunga yang
sudah maju dan besar itu.
“Bapak tak ingin orang-orang beli bunga di toko itu karena jabatan
bapak,” kata Merry.
2. Tolak rayuan pengusaha cantik
Kapolri Hoegeng Imam Santosa pun pernah merasakan godaan suap. Dia
pernah dirayu seorang pengusaha cantik keturunan Makassar-Tionghoa yang
terlibat kasus penyelundupan. Wanita itu meminta Hoegeng agar kasus yang
dihadapinya tak dilanjutkan ke pengadilan.
Seperti diketahui, Hoegeng sangat gencar memerangi penyelundupan.
Dia tidak peduli siapa beking penyelundup tersebut, semua pasti disikatnya.
Wanita ini pun berusaha mengajak damai Hoegeng. Berbagai hadiah
mewah dikirim ke alamat Hoegeng. Tentu saja Hoegeng menolak mentah-mentah.
Hadiah ini langsung dikembalikan oleh Hoegeng. Tapi si wanita tak putus asa.
Dia terus mendekati Hoegeng.
Yang membuat Hoegeng heran, malah koleganya di kepolisian dan
kejaksaan yang memintanya untuk melepaskan wanita itu. Hoegeng menjadi heran,
kenapa begitu banyak pejabat yang mau menolong pengusaha wanita tersebut.
Belakangan Hoegeng mendapat kabar, wanita itu tidak segan-segan tidur dengan
pejabat demi memuluskan aksi penyelundupannya.
Hoegeng pun hanya bisa mengelus dada prihatin menyaksikan tingkah
polah koleganya yang terbuai uang dan rayuan wanita.
3. Mengatur lalu lintas di perempatan
Teladan Jenderal Hoegeng bukan hanya soal kejujuran dan
antikorupsi. Hoegeng juga sangat peduli pada masyarakat dan anak buahnya. Saat
sudah menjadi Kapolri dengan pangkat jenderal berbintang empat, Hoegeng masih
turun tangan mengatur lalu lintas di perempatan.
Hoegeng berpendapat seorang polisi adalah pelayan masyarakat. Dari
mulai pangkat terendah sampai tertinggi, tugasnya adalah mengayomi masyarakat.
Dalam posisi sosial demikian, maka seorang agen polisi sama saja dengan seorang
jenderal.
“Karena prinsip itulah, Hoegeng tidak pernah merasa malu, turun
tangan sendiri mengambil alih tugas teknis seorang anggota polisi yang
kebetulan sedang tidak ada atau tidak di tempat.
Jika terjadi kemacetan di sebuah perempatan yang sibuk, dengan
baju dinas Kapolri, Hoegeng akan menjalankan tugas seorang polantas di jalan
raya. Itu dilakukan Hoegeng dengan ikhlas seraya memberi contoh kepada anggota
polisi yang lain tentang motivasi dan kecintaan pada profesi.”
Demikian ditulis dalam buku Hoegeng-Oase menyejukkan di tengah
perilaku koruptif para pemimpin bangsa- terbitan Bentang.
Hoegeng selalu tiba di Mabes Polri sebelum pukul 07.00 WIB.
Sebelum sampai di kantor, dia memilih rute yang berbeda dan berputar dahulu
dari rumahnya di Menteng, Jakarta Pusat. Maksudnya untuk memantau situasi lalu
lintas dan kesiapsiagaan aparat kepolisian di jalan.
Saat suasana ramai, seperti malam tahun baru, Natal atau Lebaran,
Hoegeng juga selalu terjun langsung mengecek kesiapan aparat di lapangan. Dia
memastikan kehadiran para petugas polisi adalah untuk memberi rasa aman, bukan
menimbulkan rasa takut. Polisi jangan sampai jadi momok untuk masyarakat.
4. Berantas semua beking kejahatan
Banyak aparat hukum malah menjadi beking tempat maksiat, perjudian
hingga menjadi bodyguard. Hanya sedikit yang berani mengobrak-abrik praktik
beking ini. Polisi super Hoegeng Imam Santosa mungkin yang paling berani.
Ceritanya tahun 1955, Kompol Hoegeng mendapat perintah pindah ke
Medan. Tugas berat sudah menantinya. Penyelundupan dan perjudian sudah
merajalela di kota itu.
Para bandar judi telah menyuap para polisi, tentara dan jaksa di
Medan. Mereka yang sebenarnya menguasai hukum. Aparat tidak bisa berbuat
apa-apa disogok uang, mobil, perabot mewah dan wanita. Mereka tak ubahnya
kacung-kacung para bandar judi.
Bukan tanpa alasan kepolisian mengutus Hoegeng ke Medan. Sejak
muda dia dikenal jujur, berani dan antikorupsi. Hoegeng juga haram menerima
suap maupun pemberian apapun.
Maka tahun 1956, Hoegeng diangkat menjadi Kepala Direktorat
Reskrim Kantor Polisi Sumut. Hoegeng pun pindah dari Surabaya ke Medan. Belum
ada rumah dinas untuk Hoegeng dan keluarganya karena rumah dinas di Medan masih
ditempati pejabat lama.
Cerita soal keuletan para pengusaha judi benar-benar terbukti.
Baru saja Hoegeng mendarat di Pelabuhan Belawan, utusan seorang bandar judi
sudah mendekatinya. Utusan itu menyampaikan selamat datang untuk Hoegeng. Tak
lupa, dia juga mengatakan sudah ada mobil dan rumah untuk Hoegeng hadiah dari
para pengusaha.
Hoegeng menolak dengan halus. Dia memilih tinggal di Hotel De Boer
menunggu sampai rumah dinasnya tersedia.
Kira-kira dua bulan kemudian, saat rumah dinas di Jl Rivai siap
ditinggali, bukan main terkejutnya Hoegeng. Rumah dinasnya sudah penuh
barang-barang mewah. Mulai dari kulkas, piano, tape hingga sofa mahal. Hal yang
sangat luar biasa. Tahun 1956, kulkas dan piano belum tentu ada di rumah
pejabat sekelas menteri sekalipun.
Ternyata barang itu lagi-lagi hadiah dari para bandar judi. Utusan
yang menemui Hoegeng di Pelabuhan Belawan datang lagi. Tapi Hoegeng malah
meminta agar barang-barang mewah itu dikeluarkan dari rumahnya. Hingga waktu
yang ditentukan, utusan itu juga tidak memindahkan barang-barang mewah
tersebut.
Apa tindakan Hoegeng?
Dia memerintahkan polisi pembantunya dan para kuli angkut
mengeluarkan barang-barang itu dari rumahnya. Diletakkan begitu saja di depan
rumah. Bagi Hoegeng itu lebih baik daripada melanggar sumpah jabatan dan sumpah
sebagai polisi Republik Indonesia.
Hoegeng geram mendapati para polisi, jaksa dan tentara disuap dan
hanya menjadi kacung para bandar judi. “Sebuah kenyataan yang amat memalukan,”
ujarnya geram.
5. Hoegeng dan pemerkosaan Sum Kuning
Sumarijem adalah seorang wanita penjual telur ayam berusia 18
tahun. Tanggal 21 September 1970, Sumarijem yang sedang menunggu bus di pinggir
jalan, tiba-tiba diseret masuk ke dalam mobil oleh beberapa orang pria. Di
dalam mobil, Sum diberi eter hingga tak sadarkan diri. Dia dibawa ke sebuah
rumah di Klaten dan diperkosa bergiliran oleh para penculiknya.
Setelah puas menjalankan aksi biadab mereka, Sum ditinggal begitu
saja di pinggir jalan. Gadis malang ini pun melapor ke polisi. Bukannya
dibantu, Sum malah dijadikan tersangka dengan tuduhan membuat laporan palsu.
Dalam pengakuannya kepada wartawan, Sum mengaku disuruh mengakui
cerita yang berbeda dari versi sebelumnya. Dia diancam akan disetrum jika tidak
mau menurut. Sum pun disuruh membuka pakaiannya, dengan alasan polisi mencari
tanda palu arit di tubuh wanita malang itu.
Karena melibatkan anak-anak pejabat yang berpengaruh, Sum malah
dituding anggota Gerwani. Saat itu memang masa-masanya pemerintah Soeharto
gencar menangkapi anggota PKI dan underbouw-nya, termasuk Gerwani.
Kasus Sum disidangkan di Pengadilan Negeri Yogyakarta. Sidang
perdana yang ganjil ini tertutup untuk wartawan. Belakangan polisi menghadirkan
penjual bakso bernama Trimo. Trimo disebut sebagai pemerkosa Sum. Dalam
persidangan Trimo menolak mentah-mentah.
Jaksa menuntut Sum penjara tiga bulan dan satu tahun percobaan.
Tapi majelis hakim menolak tuntutan itu. Dalam putusan, Hakim Ketua Lamijah
Moeljarto menyatakan Sum tak terbukti memberikan keterangan palsu. Karena itu
Sum harus dibebaskan.
Dalam putusan hakim dibeberkan pula nestapa Sum selama ditahan
polisi. Dianiaya, tak diberi obat saat sakit dan dipaksa mengakui berhubungan
badan dengan Trimo, sang penjual bakso. Hakim juga membeberkan Trimo dianiaya
saat diperiksa polisi.
Hoegeng terus memantau perkembangan kasus ini. Sehari setelah
vonis bebas Sum, Hoegeng memanggil Komandan Polisi Yogyakarta AKBP Indrajoto
dan Kapolda Jawa Tengah Kombes Suswono. Hoegeng lalu memerintahkan Komandan
Jenderal Komando Reserse Katik Suroso mencari siapa saja yang memiliki fakta
soal pemerkosaan Sum Kuning.
“Perlu diketahui bahwa kita tidak gentar menghadapi orang-orang
gede siapa pun. Kita hanya takut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jadi kalau salah
tetap kita tindak,” tegas Hoegeng.
Hoegeng membentuk tim khusus untuk menangani kasus ini. Namanya
Tim Pemeriksa Sum Kuning, dibentuk Januari 1971. Kasus Sum Kuning terus
membesar seperti bola salju. Sejumlah pejabat polisi dan Yogyakarta yang
anaknya disebut terlibat, membantah lewat media massa.
Belakangan Presiden Soeharto sampai turun tangan menghentikan
kasus Sum Kuning. Dalam pertemuan di istana, Soeharto memerintahkan kasus ini
ditangani oleh Team pemeriksa Pusat Kopkamtib. Hal ini dinilai luar biasa.
Kopkamtib adalah lembaga negara yang menangani masalah politik luar biasa.
Masalah keamanan yang dianggap membahayakan negara. Kenapa kasus perkosaan ini
sampai ditangani Kopkamtib?
Dalam kasus persidangan perkosaan Sum, polisi kemudian mengumumkan
pemerkosa Sum berjumlah 10 orang. Semuanya anak orang biasa, bukan anak
penggede alias pejabat negara. Para terdakwa pemerkosa Sum membantah keras
melakukan pemerkosaan ini. Mereka bersumpah rela mati jika benar memerkosa.
Kapolri Hoegeng sadar. Ada kekuatan besar untuk membuat kasus ini
menjadi bias.
Tanggal 2 Oktober 1971, Hoegeng dipensiunkan sebagai Kapolri.
Beberapa pihak menilai Hoegeng sengaja dipensiunkan untuk menutup kasus ini.
6. Selalu berpesan polisi jangan sampai
dibeli
Mantan Kapolri Jenderal Polisi Widodo Budidarmo punya kenangan
soal Hoegeng. Widodo ingat betul pesan Hoegeng padanya.
“Mas Widodo jangan sampai kendor memberantas perjudian dan
penyelundupan karena mereka ini orang-orang yang berbahaya. Suka menyuap.
Jangan sampai polisi bisa dibeli,” tutur Widodo menirukan pesan Hoegeng semasa
itu.
Widodo tahu Hoegeng tidak asal memberikan perintah. Hoegeng telah
membuktikan dirinya memang tidak bisa dibeli. Sejak menjadi perwira polisi di
Medan, Hoegeng terkenal karena keberanian dan kejujurannya. Dia tak sudi
menerima suap sepeser pun. Barang-barang hadiah pemberian penjudi
dilemparkannya keluar rumah.
“Kata-kata mutiara yang masih saya ingat dari Pak Hoegeng adalah
baik menjadi orang penting, tapi lebih penting menjadi orang baik,” kenang
Widodo.
Widodo bahkan menyamakan mantan atasannya dengan Elliot Ness,
penegak hukum legendaris yang memerangi gembong mafia Al Capone di Chicago,
Amerika Serikat. Saat itu, mafia menyuap hampir seluruh polisi, jaksa dan hakim
di Chicago. Karena itu mereka bebas menjalankan aksi-aksi kriminal.
Tapi saat itu Elliot Ness dan kelompoknya yang dikenal sebagai The
Untouchables atau mereka yang tak tersentuh suap, berhasil mengobrak-abrik
kelompok gengster itu.
“Pak Hoegeng itu tak kenal kompromi dan selalu bekerja keras
memberantas kejahatan,” jelas Widodo.
Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama
terkunci.
Rabu, 20 November 2013
Jakarta – Kapolri, Jenderal Polisi Sutarman, mengaku terinspirasi buku Hoegeng, Polisi dan Menteri Teladan yang diluncurkan hari ini di Pondok Indah Mall, Jakarta Selatan.
“Ke depan harus ada figur-figur seperti Pak Hoegeng. Sampai saat saya membaca buku ini, saya meneteskan air mata,” ujar Sutarman dalam sambutannya, Minggu (17/11/2013).
Sebab itu, Sutarman mengaku akan menyalurkan hikmah yang ada, terkait kejujuran seorang polisi, pada 400 ribu anak buahnya.
Hoegeng, lanjutnya, merupakan polisi yang konsisten. “Sehingga sekali lagi dengan terbit buku ini jadi inspirasi dan wajib membaca buku ini,” ujarnya.
Langganan:
Postingan (Atom)